Yang Kembali dari Yang Pergi

— catatan pelajaran 2021

Pradita Agustina
5 min readDec 28, 2023
Photo by Максим Степаненко on Unsplash

Di penghujung tahun 2021 lalu, salah satu pelajaran besar yang diingatkan-Nya lagi-lagi tak jauh dari: melepaskan dan keikhlasan. Entah sudah berapa kali rasanya saya dipaksa untuk paham bahwa sesuatu yang pergi dan tak kembali, berarti memang bukan untuk dimiliki. Entah Dia menyiapkan yang lebih baik dari ini, atau hanya ingin agar kita paham makna berserah dan mengikhlaskan terlebih dahulu sebelum benar-benar diberikan amanah-Nya. Pun sebaliknya, jika sesuatu memang ditakdirkan untuk kita, jika memang diri sudah pantas untuk menerima, maka dengan cara apapun akan sampai pada waktunya.

Di tahun itu, ada dua momen yang benar-benar menguji dan membuka (lagi) mata saya tentang caranya berharap dan mengikhlaskan.

Di bulan Agustus 2021, saya mendaftarkan diri untuk sebuah program beasiswa bernama Women Leadership Program (WLP) 2021 dari sebuah komunitas keilmuan Islam perempuan. Sudah lama saya mengikuti komunitas ini melalui berbagai webinarnya yang banyak membahas tentang perspektif pemberdayaan perempuan dalam Islam. Program WLP 2021 tersebut berisi serangkaian kelas tentang kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.

Waktu itu, ada dua tahapan utama yang harus dilalui: pendaftaran dan ujian tulis. Tahap pertama mudah saja, hanya mengisi formulir, membuat video tentang alasan mengapa perlu mengikuti program tersebut, dan selesai. Tahap kedualah yang cukup menantang bagi saya: ujian tulis tentang pengetahuan dasar Islam.

Kacau, pikir saya. Saat ujian tulis berlangsung, saya sedang dalam perjalanan ke pantai Pelabuhan Ratu. Bisa-bisanya Ibu saya mengajak ke pantai, berkendara naik motor — sebagaimana hobinya — dengan durasi perjalanan yang mencapai 4 jam berbarengan dengan waktu pelaksanaan ujian tersebut. Meskipun sebenarnya, salah saya sendiri yang tidak memperhatikan jadwalnya baik-baik. Jadilah saya kerjakan menggunakan HP, dengan sinyal yang hilang timbul, dan keresahan betapa inginnya saya lulus ujian ini.

Soal terdiri dari beberapa puluh pertanyaan pilihan ganda tentang pengetahuan dasar Islam seperti rukun iman, rukun Islam, ilmu fikih, dan lain sebagainya. Ironi, ternyata saya kalah telak. Saya merasa seharusnya dapat menjawab dengan mudah karena sebagian besar sudah dipelajari semasa di bangku sekolah. Tapi apa daya, saya tidak mengingatnya dengan baik — atau, saya tidak mempelajarinya dengan benar.

Hasil ujian langsung terbit di bagian akhir formulir ujian: saya tidak lulus. Nilai saya tidak memenuhi ambang batas untuk dapat lolos ke seleksi berikutnya. Di sisa sepanjang perjalanan diiringi dengan bisingnya knalpot kendaraan dan matahari yang terik, saya biarkan diri bersedih.

Betapa sedihnya saya mengetahui bahwa pengetahuan saya tentang Islam seperti mendapat nilai nol besar yang ditulis dengan tinta merah di atas lembar ujian. Betapa saya merasa telah menjadi orang yang merugi, yang tidak menjadi lebih baik perihal mempelajari agama, hingga menjawab pertanyaan dasar pun saya tidak mampu. Betapa saya merasa malu pada Tuhan, setelah semua yang diberikan-Nya, bisa-bisanya saya membiarkan diri hanyut menjauh dari-Nya?

Di tengah segala kontemplasi itu, saya biarkan air mata jatuh, sambil berusaha untuk bisa ikhlas dan menerima: barangkali nanti ada kesempatan lain lagi untuk belajar. Ikhlas menelan kenyataan bahwa saya masih jauh dari ilmu. Paling tidak, saya sudah disadarkan akan betapa perlunya saya belajar lagi.

Berselang beberapa hari berikutnya, saya sudah mengikhlaskan kenyataan bahwa saya kurang ilmu dan tidak lolos ujian tersebut. Kemudian tak disangka, saya mendapatkan sebuah pesan:

Hati saya terenyuh. Betapa baiknya Dia, mengetahui hamba-Nya sudah cukup merasa malu dan fakir ilmu, dia loloskan dengan cara yang tidak disangka. Dia jawab doa dan kesedihan saya dengan mengembalikan kesempatan yang saya kira telah pergi. Dia berikan saya kesempatan dengan cara-Nya — cara yang mampu membuat saya lebih berefleksi dan bersyukur. Sungguh, Dia tahu cara terbaik untuk memberi.

Sebulan berikutnya di tahun yang sama, ada kisah yang lain lagi.

Kala itu saya mengikuti sebuah kegiatan seminar Bedah Buku tentang beasiswa melanjutkan pendidikan yang diadakan oleh instansi sebelah. Acara itu mengundang awardee sebuah kampus kenamaan di metropolitan Amerika yang telah menerbitkan beberapa buku tentang beasiswa. Saya sudah cukup lama mengikuti awardee tersebut — yang kebetulan juga pernah bersinggungan di salah satu komunitas.

Saat mengetahui ada giveaway buku hasil tulisannya untuk 3 pemenang beruntung, tebersit dalam pikiran: ‘Wah, lumayan juga kalau dapat gratis!’. Saya ikuti prosedurnya dengan hati yang penuh harap untuk bisa memenangkannya. Iseng-iseng berharap, apa salahnya? Qadarullah, saya kalah. Sedih? Ya tentu. Sebagai manusia biasa, sekecil apapun harapan yang tidak tercapai tentu tetap dapat membuat sedih.

Tapi mungkin itulah yang coba diajarkan oleh-Nya kepada saya: untuk menaruh harapan pada tempatnya.

Lagi-lagi, saya ikhlaskan kegagalan tersebut. Sudahlah, mungkin ada yang lebih butuh. Kan nanti bisa beli, hibur saya pada diri sendiri.

Namun lagi-lagi, dengan jalan yang tidak disangka, Dia kembali memberikan apa yang saya harapkan dengan cara yang lebih indah — dengan cara yang membuat saya tertampar dan takjub akan kuasa-Nya. Beberapa jam setelah acara selesai, saya mendapat pesan bahwa jumlah pemenang tiba-tiba ditambah dan saya menjadi salah satunya.

Kok, Allah baik sekali? hanya itu yang tebersit di kepala saya. Di saat saya sudah mengikhlaskan harapan kecil untuk dapat buku gratisan, dia berikan kembali dengan bonus bahan kontemplasi: Ia mendengar, Ia tahu apa yang dibutuhkan hamba-Nya.

Akhir tahun itu, melalui momen-momen dan harapan kecil, saya diajarkan kembali tentang maknanya berharap dan ikhlas. Saya kembali diingatkan bahwa jika sesuatu benar-benar ditakdirkan menjadi rezeki kita, maka tidak ada hal sekecil apapun yang akan menghalanginya. Ia tahu salah satu kelemahan —meskipun juga bisa menjadi kekuatan – manusia biasa adalah hati yang penuh harap. Ia tahu hati adalah onggokan daging paling rapuh dalam diri hamba-Nya karena harus menanggung berbagai rasa dan harap.

Ia berikan apa yang saya inginkan dengan cara memaksa saya untuk memaknai ikhlas dan melepaskan terlebih dahulu, sebelum ia kembalikan lagi dengan cara yang lebih baik. Ia ingin agar saya paham: taruhlah harapan pada ruang kecil di hati sewajarnya. Biarlah Dia yang memakan ruang terbesar dalam hati. Berharaplah hanya kepada-Nya.

Dua tahun berlalu, jawaban yang Ia berikan atas harapan kecil maupun besar yang saya panjatkan datang dalam bentuk yang beragam: dalam versi terbaik-Nya. Dua cerita tersebut adalah dua cerita yang memiliki akhir sesuai harapan: Dia memberikan persis apa yang saya inginkan dalam hati terdalam.

Di sisi lain, ada begitu banyak hal yang harus saya lepaskan dan tak kembali. Ada begitu banyak pelajaran tentang keikhlasan dan melepaskan yang hadir dengan barbar dan hanya bisa dilawan dengan suatu keyakinan: Dia tahu yang terbaik.

Hingga di tahun 2023 saat saya merampungkan tulisan ini pun, ternyata masih banyak lagi pelajaran yang saya dapatkan tentang melepaskan dan mengikhlaskan. Tentang bagaimana sesuatu perlu dilepas pergi, dan biarkan Ia yang bekerja entah dengan membawanya kembali, atau menggantinya dengan yang lebih baik.

Hapal di luar kepala bahwa ikhlas adalah salah satu adab yang paling berat tidak membuat perjuangan untuk mengimaninya menjadi mudah. Meskipun demikian, saya tahu saya tidak akan menyerah untuk berlatih merebahkan hati pada makna pasrah.

Tak henti-hentinya saya rapal dalam hati:

“Mintalah, berharaplah. Tapi jangan pernah tanggalkan hati yang berserah.”

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet