Persona Daring dan yang Menjadikannya Penting-Tak-Penting

Pradita Agustina
5 min readAug 8, 2020

--

Photo by Mr TT on Unsplash

Kala itu dalam suatu perjalanan pulang-pergi Bogor-Bandung bersama kedua teman bisnis, kami berbicara tentang banyak hal. Tipikal obrolan ngalor ngidul dari urusan pekerjaan sampai urusan pribadi. Kami punya beberapa hal di Bandung yang perlu diurus. Kedua teman saya ini laki-laki, jadi tentu saya harus menyesuaikan dengan salah satu obrolan lelaki: tentang wanita.

“Lihat deh, Dit. Ini ada cewek. Cantik,” teman saya menunjukkan foto Instagram wanita itu pada saya, sementara teman satunya lagi sedang fokus mengemudi. Betul, cantik. Senyumnya tipis manis, wajahnya kalem adem. Katakanlah, seperti ubin masjid.

“Cantik, cuy. Selera lo banget ini, mah. Maju, lah,” ujar saya.

“Kelihatannya anak baik-baik. Enggak banyak upload foto narsis gitu,” kemudian saya agak mengernyit.

“Memangnya yang suka upload foto narsis bukan anak baik-baik, gitu?”

“Ya enggak juga, gue merasa dia kelihatannya baik dan kalem aja. Enggak berlebihan di medsos.”

Hmmm. “Tapi, kan, belum tentu bisa jadi patokan. Lo enggak bisa tahu pasti yang orang tampilkan di medsos itu apa. Asli atau palsu? Dirinya yang sesungguhnya apa cuma pencitraan? Yang ada nanti lo kecewa kalau ternyata dia enggak sebaik di medsos,” kemudian teman saya itu tertawa.

“Bukan gitu, Dit. Menurut gue, kalau sampai gue kecewa saat kenal dia secara langsung, itu bukan salah dia. Tapi salah gue yang kurang pintar atur ekspektasi,” ia menjelaskan sambil masih mencermati akun wanita tadi.

Gue rasa ada stigma yang perlu diluruskan,” ia berhenti memandangi layar ponselnya dan menghadap saya. “Seharusnya, kalau kita menjadikan medsos sebagai salah satu media buat mengenal orang, kita harus bisa atur ekspektasi. Alih-alih mikirin apa yang dia tampilkan itu asli atau palsu, lebih baik, anggaplah apa yang ditampilkan itu adalah versi terbaik dirinya — versi yang dia ingin orang lain ketahui. Bukan jadi standar atau patokan terendah atas interpretasi kita.”

“Coba pikir, itu adalah sisi terbaik yang bisa dia tunjukkan ke dunia luar. Berarti, kita harus siap kalau ternyata dia enggak sebaik yang ditampilkan itu. Kalau dari penilaian medsos kita merasa bisa terima sisi terbaik yang seperti itu, harusnya kita enggak takut kecewa. Kalau ternyata dia lebih baik dari yang ditampilkan, ya, kita beruntung,” beberapa detik selanjutnya, saya hanya diam sambil berusaha meresapi gagasannya.

“Betul juga, sih,” Toh penilaian baik dan buruk itu kadang relatif, batin saya. Di sisa perjalanan, kami membicarakan topik-topik lainnya.

Perenungan atas hakikat representasi diri di media sosial (medsos) belakangan terasa cukup mendalam bagi saya, terutama di platform Instagram — salah satu yang seringkali dianggap sebagai ‘media pamer’ dunia maya. Siapa yang tak jarang merasa harus menampilkan sisi terbaik di halaman akun pribadi? Apakah menjadi sebuah ‘dosa’ jika kita hanya menunjukkan sisi yang baik di dunia maya? Apakah sebenarnya setiap orang perlu membentuk persona daring yang mumpuni? Hal-hal seperti ini kerap kali muncul di benak saya. Tak jarang, saya sendiri harus berpikir ribuan kali sebelum mengunggah sesuatu. Takut apa yang saya unggah diinterpretasikan berbeda oleh orang lain.

Sekian lama merenungkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya semakin mafhum bahwa penggunaan medsos dan hubungannya dengan representasi diri bisa memiliki beragam arti. Bagi beberapa orang, mengupayakan persona daring yang mumpuni bukanlah sebuah keharusan. Medsos hanya untuk senang-senang. Usahlah memusingkan diri dengan urusan menampilkan persona yang bersahaja. Nikmati saja. Bagi sebagian yang lain, perkara tersebut adalah kebutuhan. Bisa jadi untuk keperluan pekerjaan, pembentukan pengaruh sebagai influencer, atau perluasan jaringan (re: networking). Tidak hanya itu, saya juga semakin maklum dengan adanya fakta bahwa sebaik apapun kita membangun persona, persepsi yang dimiliki orang lain belum tentu akan sesuai dengan harapan.

Terlepas dari hal-hal tersebut, saya meyakini bahwa persona daring yang mumpuni perlu untuk diupayakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa upaya pembentukan persona daring seringkali dilakukan untuk memenuhi ekspektasi sosial atas diri kita. Upaya ini bisa saja merupakan kerja simultan antara ikhtiar pribadi dalam merepresentasikan diri dan juga usaha untuk memenuhi standar sosial masyarakat atas ‘persona yang baik’. Meskipun demikian, saya percaya bahwa upaya tersebut tidak semata-mata ditujukan untuk pemenuhan ekspektasi sosial. Lebih dari itu, persona daring bisa menjadi salah satu penjabaran pemahaman, harapan, dan idealisme kita atas diri sendiri.

Persona pada dasarnya adalah bagaimana kita merepresentasikan diri kepada dunia luar. Kata ‘persona’ itu sendiri berasal dari Bahasa Latin yang berarti topeng. Anggaplah, persona yang kita bangun di medsos adalah ‘topeng’ yang kita pilih untuk ditampilkan ke khalayak. Dengan demikian, ada konsep pemahaman dan pandangan kita atas diri sendiri yang coba kita yakini sebagai jati diri. Jati diri inilah yang kita kenalkan ke dunia luar. Perkara seperti apa, berapa banyak, dan bagaimana seseorang merepresentasikan dirinya ke dunia luar dan membentuk persona daringnya adalah keputusan diri masing-masing. Penentuan ini adalah proses sakral tiap-tiap individu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk kepribadian, lingkungan, dan dorongan.

Proses pembentukan persona daring ini tentunya tidak terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan — dari bagaimana kita bisa mengetahui potensi yang ada dalam diri. Kelebihan dan kekurangan adalah dua hal yang akan selalu berdampingan. Tugas kita selaku empunya keduanya adalah mengolah cara pandang dan strategi yang bisa mengedepankan kelebihan dan menjadikannya kekuatan, serta tetap memeluk kekurangan yang ada. Dengan secara sadar mengupayakan persona daring yang bestari, kita didesak untuk mampu mengidentifikasi hal-hal baik dan buruk dalam diri, menerimanya, dan syukur-syukur mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Semua ini bertujuan agar persona daring yang dibentuk memang mengejawantahkan hal baik yang benar-benar ada di dalam diri.

Mengupayakan persona daring yang mumpuni tidak seharusnya membuat kita memaksakan diri secara membabi buta. Setelah memiliki pemahaman atas diri sendiri, jangan sampai kita terjebak dalam obsesi atau gambaran ideal atas diri tersebut. Obsesi seperti ini bisa saja mengantarkan kita pada penggunaan persona diri yang berlebihan. Atau dengan kata lain, pencitraan yang menyimpang dari kenyataan yang ada. Kita menjadi cenderung mempromosikan sisi-sisi baik yang sebenarnya belum mampu diyakini ada dalam diri. Selama sisi baik yang ditunjukkan bukanlah buatan dan merupakan hal-hal yang benar-benar dilakukan, seharusnya ini bukanlah sebuah ‘dosa’. Yang perlu diingat adalah bahwa untuk menjadi diri sendiri tidak harus menunjukkan segala sisi dan sudut pribadi di dunia maya. Pun menunjukkan sebagian sisi saja tidak berarti bahwa kita belum sepenuhnya mencintai diri sendiri. Penerimaan diri tidak dilambangkan dengan berapa dalam, luas, dan melimpahnya unggahan yang bersedia dibagi.

Pada akhirnya, ada dua sisi penggunaan medsos yang perlu kita tafakuri secara lebih seksama. Sebagai orang yang memanfaatkan medsos untuk media representasi diri, tidak seharusnya kita segan dalam mengupayakan persona daring yang mumpuni. Kita tidak perlu risau akan miskonsepsi yang mungkin mencuat ke permukaan. Namun demikian, kita juga harus cermat dan beradab dalam mengupayakan persona yang ditampilkan.

Di sisi lain, sebagai orang yang menggunakan medsos untuk lebih memahami orang lain, saya setuju dengan apa yang dikatakan teman bisnis di percakapan awal. Jangan terlalu berpatokan pada apa yang kita lihat dan bersandar hanya pada interpretasi pribadi. Meskipun medsos cukup mewakili diri seseorang melalui persona daringnya, kita perlu membuka pandangan lebih dari sekadar apa yang dilihat mata dan dipahami isi kepala.

Pada akhirnya, patut diingat bahwa selain menjadi pengguna yang rajin mawas diri, kita juga perlu menjadi pencari informasi yang pintar menyusun persepsi dan mengatur ekspektasi.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet