Pendidikan: antara Pencapaian dan Penanaman

— sebuah ikhtisar pelurusan makna pendidikan.

Pradita Agustina
3 min readApr 21, 2022
Photo by Beth Jnr on Unsplash

Telah lebih dari 20 tahun saya belajar dan mengenyam pendidikan, baik formal maupun nonformal. Dipikir-pikir: lama juga. Waktu belajar yang begitu lama telah dilalui, tapi baru di dua tahun terakhir saya mulai menyadari satu hal: ada yang salah dengan cara saya — dan mungkin banyak orang lain di luar sana — memaknai pendidikan selama ini.

Puluhan tahun dilalui, yang dipahami dari mengenyam pendidikan adalah ia sebagai sarana pencapaian: belajar supaya dapat nilai bagus, masuk kampus favorit, hingga bisa jadi orang sukses. Pendidikan dipandang sebagai sarana cetak angka dan prestasi belaka. Padahal nyatanya, pendidikan perlu dimaknai lebih dari itu. Ia bukan sekadar sarana pencapaian, melainkan sebuah upaya penanaman. Hal inilah yang belakangan baru saya pelajari.

Dalam salah satu kelas Frasa lah saya pertama kali mendengar istilah pendidikan sebagai ta’dib sebagai proses penanaman sesuatu ke dalam diri manusia. Dr. Abas Mansur Tamam menjelaskan bahwa penanaman tersebut dilakukan melalui metode atau sistem bertahap yang menanamkan suatu kandungan ilmu maupun nilai ke dalam diri manusia.

Dengan kata lain, pendidikan dimaknai sebagai penyemaian dan penanaman adab ke dalam diri seseorang.

Saya tersadar bahwa pendidikan dan proses di dalamnya tidak seharusnya hanya difokuskan pada ‘apa’ yang harus dipelajari dan dihasilkan, melainkan juga ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ kita melakukannya.

Tak dipungkiri, berbagai alasan untuk mengeyam pendidikan seringkali didasari oleh godaan keduniaan. Dulu saat di bangku sekolah, alasan saya belajar tak lepas dari pemikiran bahwa bersekolah adalah jalan terbaik supaya kelak bisa jadi orang sukses. Pendidikan yang baik akan mengantarkan saya ke tempat-tempat yang baik pula, pikir saya. Tentu ini bukanlah hal yang buruk. Tapi ternyata, niat menuntut ilmu pun perlu diluruskan.

Saya mulai belajar bahwa membersihkan hati sudah selayaknya menjadi salah satu kepribadian penuntut ilmu.

Ilmu adalah ibadah dan taqarrub-nya hati.

Sebagai penuntut ilmu, kita mesti membersihkan hati dari segala kotoran batin yang mungkin muncul — kedengkian, kebencian, maupun akhlak buruk. Semua semata-mata agar ilmu yang dipelajari bisa diterima, diingat, serta diteliti makna dan kebenarannya dengan baik. Ilmu adalah cahaya, dan seperti yang dikatakan oleh Sahel al-Tustari: mustahil hati dimasuki cahaya, ketika di dalamnya mengandung sesuatu yang tidak disukai Allah. Kebersihan hati lah yang membuat kita pada akhirnya mampu menerima ilmu.

Tidak hanya itu, membersihkan hati sebagai penuntut ilmu juga perlu dibarengi dengan niat yang ikhlas. Ikhlas dalam artian menghadapkan hati kepada Pemiliknya. Tidak mudah untuk benar-benar menanamkan keikhlasan dalam menuntut ilmu. Bagi saya sendiri, keikhlasan adalah sesuatu yang perlu dilatih seumur hidup sebab ikhlas adalah adab yang paling berat. Melatih keikhlasan sudah seharusnya menjadi benteng bagi penuntut ilmu agar senantiasa meluruskan niatnya dalam belajar semata-mata karena Allah.

Sebagaimana Abu Daud, Ibn Majah: “siapa yang menjadikan akhirat sebagai obsesinya, Allah akan menutupi keperluannya, menjadikan rasa cukup di dalam dadanya, dan dunia akan mendatanginya sementara dia tidak banyak berharap kepadanya.”

Bukan perjuangan yang mudah untuk bisa mencapai hal tersebut, tapi tentu, penting untuk senantiasa diupayakan.

Pendidikan, bagaimanapun, tidak seharusnya dijadikan sebagai sarana pencapaian keduniaan belaka. Lebih dari itu, pendidikan perlu dimaknai sebagai upaya penanaman ilmu bermanfaat dan nilai baik dalam diri penuntutnya.

Pada akhirnya, saya percaya bahwa belajar adalah proses seumur hidup. Pendidikan juga sudah seyogianya dimaknai sebagai proses perbaikan diri dan modal berbagi, bukan semata untuk keperluan duniawi. Semua ini tak lepas dari tujuan pencarian ilmu dan pendidikan itu sendiri: untuk kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dan bagaimanapun, kita semua sudah seharusnya tidak lupa bahwa dunia adalah tempatnya untuk berlelah-lelah menggali serta mengamalkannya.

Ditulis sebagai esai akhir program Woman Leadership Program 2021 yang diselenggarakan oleh Komunitas Keilmuan Perempuan Frasa.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet