Mukena dan Doa-Doa

— kita punya apa?

Pradita Agustina
6 min readOct 12, 2024

Menyusun agenda weekend adalah salah satu kegiatan favorit saya. Semakin dewasa, semakin saya menyadari tidak banyak energi yang dimiliki. Tanggung jawab yang harus dilakoni, menjaga relasi, hingga mengistirahatkan diri menjadi tiga ihwal yang sebisa mungkin saya hidupi di penghujung minggu.

Suatu waktu, saya kembali menyusun jadwal untuk agenda akhir pekan berikutnya. Agenda utama yang dikedepankan adalah menghabiskan akhir pekan dengan menginap di rumah Meidy — sobat saya yang baru saja kembali ke tanah air pasca menimba ilmu di negeri Paman Sam. Kami sudah mengagendakan ini dari lama; sepertinya sejak saat saya mengunjunginya di Boston. Kami berjanji sekembalinya ia dari sana, saya akan menginap di rumahnya untuk menghabiskan waktu bersama: to make up for lost time atau sekadar cerita-cerita saja.

Jadilah di minggu itu, saya kosongkan jadwal untuk agenda tersebut, kecuali pada satu agenda yang masih saya buka harapannya: mengikuti suatu dauroh (re: pelatihan) yang kebetulan ada di hari Minggunya. Acaranya sungguh menarik. Teman saya yang lain sudah sejak lama menginformasikan tentang pendaftaran acara tersebut. Tapi apa daya, gerak yang lambat dan mikir yang kebanyakan tak sampai mengantarkan saya untuk mengamankan tiket — tiketnya sudah ludes saat saya baru mantap mau beli! Saya harap-harap cemas menantikan adanya tiket WTS (Want to Sell) dari orang-orang yang mungkin tidak jadi berangkat ke acara tersebut.

Hingga tiba hari Jumat, tiket tak kunjung saya genggam. Baiklah, berarti weekend ini saatnya quality time saja di rumah Meidy, pikir saya. Jumat malam orang tua Meidy menjemput kami di kantor untuk pergi bersama ke rumahnya di Bekasi. Saya dinobatkan menjadi anak angkat keluarganya sepanjang akhir pekan itu. Diajaknya saya makan malam, main dengan Oyi si kucing kesayangan, jajan ina-inu, bahkan deep talk over dinner di meja makan tentang kehidupan dan tetek bengeknya bersama kedua orang tua Meidy. Seru sekali!

Tapi siapa yang menyangka bahwa rencana akhir pekan berubah menjadi wahana perenungan bagi saya. Di sepanjang minggu itu, ada tiga hal berharga yang membuat saya terkesima tentang betapa indahnya semesta (re: Yang Punya Semesta) bekerja melalui hadiah-hadiah kecil yang mengingatkan saya akan kebesaran dan kasih sayang-Nya.

Hadiah Pertama

Hari Jumat ke Sabtu bergulir cukup cepat. Saya dan Meidy mengobrolkan banyak hal; kadang sambil rebahan, kadang sambil laptop-an. Di Sabtu sorenya, teman saya yang di awal mengajak untuk ikut acara itu mengirimkan kabar baik: ada tiket milik tantenya yang tidak jadi berangkat karena ada uzur. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tiketnya mau diberikan gratis! Si Tante menolak untuk dibayar. Wah, pikir saya. Sebelumnya, harga tiket acara tersebut cukup membuat saya maju-mundur untuk ikut (hehe). Lalu tiba-tiba, dikasih-Nya saya tiket gratis? Jadilah saya sambut dengan penuh syukur dan berdoa yang baik-baik untuk Si Tante. Saya kabarkan Meidy bahwa Minggu pagi saya akan pergi bersama teman-teman untuk ikut acara itu. Meidy dan ibunya bersikeras untuk mengantar saya ke titik janjian yang kebetulan di daerah Bekasi juga.

Hadiah Kedua

Faktor utama yang membuat saya ragu untuk mendaftar acara tersebut sejak awal adalah faktor jarak. Acara diadakan di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), yang akses dan jaraknya dari tempat tinggal saya di Jakarta Pusat cukup bikin mager, paling tidak bagi saya yang ke mana-mana menggunakan transportasi umum. Ah, barangkali ada kesempatan lain yang lebih dekat nanti, batin saya waktu itu. Tapi dengan pengaturan-Nya, Ia perkenankan untuk saya dan Meidy akhirnya jadi menjadwalkan agenda menginap di Bekasi tepat di minggu itu, yang notabene jauh lebih dekat ke lokasi acara. Wow, pikir saya. Di saat saya merentetkan berbagai alasan untuk ragu mengikuti acara tersebut, ia atur sedemikian rupa supaya semuanya jadi lebih mudah.

Sampai di sini pun, hadiah belum berhenti.

Hadiah Ketiga

Saat berencana menginap di rumah Meidy, saya sudah berniat tidak bawa mukena pribadi. Kan menginap di Meidy bakal stay di rumahnya terus juga? Nggak perlu bawa mukena lah, ya? pikir saya. Ketika ternyata saya jadi menghadiri acara yang diadakan seharian penuh dengan peserta yang beratus-ratus dan semuanya wanita, saya baru kepikiran: pasti susah cari mukena umum pas mau salat. Gawat, pikir saya.

Tibalah saat Meidy dan ibunya mengantar saya ke titik janjian selepas subuh. Saya turun dari mobil, pamitan dengan Meidy dan mencium tangan Ibu Meidy sambil berterima kasih sebesar-besarnya. Sungguh akhir pekan yang menyenangkan yang saya habiskan di keluarga hangatnya.

Lalu, tiada angin tiada hujan, Ibu Meidy menyodorkan sebuah hadiah dibungkus kertas kado cantik. Sambil kaget dan enak-tak-enak, saya terima kado itu. Tak lupa saya ujarkan terima kasih, lalu pamitan. Sesampainya di mobil teman saya, saya buka kadonya. Tahu isinya apa?

Mukena. Ditambah beberapa bungkus coklat untuk camilan.

Mata saya tiba-tiba panas karena haru. Saya tidak bilang apa-apa ke Meidy ataupun ibunya masalah tidak bawa dan butuh mukena karena tidak ingin lebih merepotkan lagi. Saat itu saya sudah memutuskan untuk pinjam saja ke teman yang turut menghadiri acara agar lebih praktis. Tapi siapa sangka, tiba-tiba di tangan saya sudah tergenggam mukena — sesuatu yang saya butuhkan, di waktu yang paling tepat; bahkan tanpa perlu dengan gamblang saya pinta kepada-Nya.

Dalam ajaran agama saya, ada tiga cara pengabulan doa: (1) dikabulkan doanya — persis seperti apa yang diminta; (2) dihindarkannya kita dari musibah yang senilai dengan isi doanya — atau dengan kata lain, dikabulkan-Nya dengan ganti yang lebih baik; dan (3) Dia simpan pengabulan doanya dalam bentuk pahala di akhirat — dalam artian: ditunda (HR Ahmad). Ketiganya berlaku dengan catatan doa yang dilangitkan tidak berisi perbuatan dosa atau memutus silaturahim. Apapun cara pengabulan yang dimakbulkan, pada intinya satu: Tuhan Maha Mengabulkan Doa.

Bernafaskan konsep cocoklogi dan romantisasi, ketiga hadiah di atas sedikit banyak cukup mendemonstrasikan tiga cara pengabulan tersebut. Pada akhirnya, momen ini menjadi pengingat kecil saya yang masih menggenggam serentetan doa yang terus-menerus dilangitkan.

Saat itu, keinginan kecil saya hanyalah untuk bisa ikut acara tersebut. Saya berdoa untuk dapat tiket available yang bisa dibeli, tapi yang ia berikan adalah tiket gratis. Di sini, sedikit banyak cara pengabulan doa yang kedua bekerja — Ia kabulkan dengan cara mengganti dengan yang lebih baik; jauh lebih baik.

Kegundahan akan jarak yang jauh, Ia ganti dengan rezeki berupa kemudahan yang saya dapatkan: saya yang hanya tinggal duduk manis berangkat dari Jakarta Pusat-Bekasi-TMII tanpa perlu banyak menghabiskan energi dan usaha. Sedikit banyak Ia kabulkan dengan cara ketiga: ditunda (meski tidak sampai di akhirat). Mari kita tunda sebentar. Jangan dulu beri tiketnya, atur dulu sedemikian rupa supaya dia lebih dekat, baru jadilah! Mungkin itu yang Ia coba katakan, ya?

Untuk kebutuhan yang bahkan tidak saya terjemahkan ke dalam doa, Ia kabulkan dengan cara pertama: cara kontan, persis seperti yang saya pikir saya butuh. Digerakannya hati Ibu Meidy untuk tiba-tiba memberikan mukena meski beliau tidak tahu persis bahwa saya sedang butuh. Tapi Ia tahu. Ia Maha Tahu.

Dulu saya pikir, semakin tua kita akan semakin besar kemampuan melakukan banyak hal. Pasti bisa ini-itu kalau sudah besar! Secara harfiah, tentu iya. Tapi ternyata sejauh ini yang dirasa adalah semakin dewasa, justru saya merasa semakin sadar betapa lemahnya manusia. Ternyata, kita tidak punya apa-apa, dan segala yang ada adalah titipan-Nya. Yang kita punya hanya waktu yang sementara, kehidupan yang fana, namun dibekali dengan dua perkara untuk melaluinya: sebaik-baiknya doa dan usaha.

Doa adalah sarana komunikasi kita dengan Sang Pemilik. Doa adalah senjata. Doa adalah kekuatan. Sebagaimana kutipan Syaikh Mutawali As Sya’rawi:

Allah SWT. tidak menciptakan sesuatu yang lebih kuat dari doa, bahkan, Dia membuat doa lebih kuat dari takdir-Nya.

Berbagai ujian dan peringatan pada akhirnya menuntun pada kesadaran akan betapa butuhnya saya pada Dzat yang tidak terlihat. Semakin dewasa, nyatanya semakin banyak ketidakmampuan yang terasa. Semua kelemahan bermuara pada semakin panjangnya rentetan doa yang saya panjatkan, untuk apapun perkara yang ada di hadapan. Tapi tentu saja, usaha-usaha yang bisa diupayakan tetap terus berjalan. Di sisi lain, keyakinan bahwa doa akan dikabulkan kadang menjadi ujian yang lain lagi.

Entah memang saya orang yang mudah meromantisasikan segala sesuatu, atau memang Tuhan tahu saya sedang butuh diingatkan lagi tentang betapa detailnya segala sesuatu Ia tetapkan, tiga hadiah itu hadir di tengah kegundahan yang saat itu sedang bersemayam. Tiga hadiah itu menjadi pertanda dan penguat bagi saya untuk tidak pernah berhenti merapalkan barisan doa yang masih perlu mengudara hingga ke arsy-Nya.

Lewat momen itu, saya dibuatnya merenung tentang manusia dan harapan-harapannya yang seringkali salah alamat. Tentang bagaimana kadang kita lupa akan kekuatan doa. Tentang bagaimana doa adalah sarana komunikasi kita dengan-Nya. Tentang bagaimana doa sejatinya adalah bentuk penghambaan dan penyerahan, sekaligus sumber kekuatan. Tentang bagaimana doa dan harapan tidak seharusnya digantungkan kepada yang selain-Nya. Tentang bagaimana sebenarnya memanjatkan doa adalah kebutuhan kita sebagai manusia, bukan kebutuhan-Nya.

Untuk harapan dan kebutuhan remeh yang bahkan khilaf untuk saya maktubkan ke dalam doa, Ia masih saja mengabulkannya dengan cara yang tidak diduga.

Sekarang bayangkan: bagaimana dengan rintihan doa yang kita rapal sambil menyadari betapa lemahnya kita? Bagaimana dengan doa-doa yang datangnya dari hati terdalam yang dengan yakinnya kita lantunkan di keheningan malam?

Bagaimana dengan doa-doa berselimut kebaikan yang kita niatkan? Bagaimana dengan doa-doa yang menuntun kita untuk bersimpuh? Bukankah Ia akan mengabulkannya dengan cara yang membuat kita merasa penuh?

Tidakkah kita tersentuh?

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet