Menyelami Murakami Lagi

— tentang membaca dan Kafka.

Pradita Agustina
7 min readOct 7, 2019

Butuh waktu lima bulan bagi saya untuk menyelesaikan buku ini: Kafka on The Shore karya Haruki Murakami. Lama? Tentu. Kok bisa? Coba saya jelaskan dulu.

Pertama-tama, I was an avid reader, tapi tidak untuk sekarang. Belakangan sulit untuk bisa fokus membaca dan menyelesaikan buku, apalagi kalau bukan fiksi. Saya juga baru menyadari bahwa keranjingan baca dan malas baca memang akan ada masanya. Salut dengan orang-orang yang bisa konsisten menjadi kutu buku. Pernah saya keranjingan membaca hingga novel delapan ratus halaman bisa diselesaikan dalam waktu dua hari — yang akhirnya mengharuskan saya memakai kacamata minus. Kalau sedang malas-malasnya, ya seperti ini, buku empat ratusan halaman baru rampung dalam waktu lima bulan.

Kedua, bagi saya dalam menaklukkan karya fiksi harus menemui setidaknya dua titik penting. Titik yang membuat kita merasa ‘klik’ dengan buku yang dibaca. Titik yang pertama adalah di masa pencarian, saat kita melihat sebuah buku dan yang tebersit di kepala adalah: ‘Oh, I’m gonna read this one’. Titik yang kedua adalah di masa membaca buku, saat kita merasa bahwa pada bagian inilah cerita terasa sayang untuk ditinggalkan. Sekali bertemu dengan titik kedua, maka tidak akan sulit lagi menyelesaikan sebuah buku. Ironisnya, baru setelah melalui hampir setengah dari buku inilah saya menemukan titik kedua. Nanti saya ceritakan lebih lanjut.

Ketiga, saya mengimani mentah-mentah pepatah arab yang mengatakan: sebaik-baiknya teman duduk di setiap waktu adalah buku.

Sayangnya, membuat waktu untuk duduk diam, memegang buku, menelusuri setiap kata, dan menyerap isinya belakangan juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Jadilah saya hanya baca buku saat kebetulan memang sedang duduk. Paling sering saat mengarungi Gondangdia-Bogor via kereta setiap minggu, itu pun kalau dapat duduk. Pernah saya paksakan membaca sambil berdiri, tapi sepertinya tidak lagi.

Kafka on the Shore adalah buku kedua dari Haruki Murakami yang berhasil saya tuntaskan, yang pertama adalah Norwegian Wood. Dulu selepas Norwegian Wood, saya bertanya kepada salah satu teman SMA yang sudah sukses menamatkan banyak karya dari penulis Jepang ini: buku apa lagi dari Murakami yang bagus untuk dibaca? Ia bilang semua bagus. Karyanya kebanyakan aneh, namun tidak pernah membosankan untuk dibaca.

“Kalau mau yang unik, Kafka on the Shore,” katanya. Saya manut, langsung membeli bukunya secara online.

Secara sederhana, buku ini menceritakan tentang perjalanan remaja laki-laki berusia 15 tahun, Kafka Tamura, dalam menemukan jati dirinya. Secara lebih rumit, buku ini menceritakan tentang bagaimana Kafka berusaha mencari kebenaran atas diri dan nasibnya. Ia mencoba mencari ibu dan kakak perempuannya, yang diceritakan pergi tanpa ia pernah mengetahui sebabnya. Dalam pencariannya itu, berbagai plot twist dan hal-hal tak lazim terjadi. Membingkai cerita tentang Kafka dan memberikan sedikit bukti atas perkataan teman saya bahwa Murakami tidak pernah mengecewakan.

Kafka on The Shore memiliki dua sisi cerita yang paralel, dipandu oleh dua tokoh utama yang sedikit demi sedikit menyingkap persinggungannya: Kafka dan Nakata. Cerita tentang Kafka dibuka dengan percakapan antara dirinya dan Crow — sejenis alter ego yang awalnya saya pikir merupakan seorang tokoh riil. Crow dalam cerita ini lebih seperti bagian lain dalam kepala Kafka yang menegaskan isi pikiran dan membimbingnya. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke-15, Kafka pergi dari rumah untuk kabur dari kutukan ayahnya. Ia menempuh perjalanan dari Nakano, Tokyo menuju Takamatsu, Shikoku seorang diri.

Di sisi lain, cerita tentang Nakata dimulai dengan transkrip rekaman investigasi milik U.S. Department of Defense atas kejadian aneh di tahun 1944. Saat itu, untuk alasan yang tidak dijelaskan hingga cerita berakhir, enam belas anak sekolah dasar yang sedang tamasya di sebuah bukit tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri. Tidak berselang lama, anak-anak itu kembali sadar dalam kondisi normal kecuali satu: Satoru Nakata. Ia baru sadar lama setelahnya dalam kondisi kehilangan seluruh ingatan dan kemampuannya. Ia tidak bisa membaca, tidak ingat siapa namanya dan keluarganya, bahkan tidak mampu berpikir keras. Puluhan tahun berlalu, Nakata hidup sebagai kakek tua seorang diri.

Kedua sisi cerita terus bergulir bergantian pada tiap babnya. Satu bab tentang Kafka dan perjalanannya, satu bab tentang masa lalu Nakata dan petualangan-petualangan anehnya. Saya merasa kesulitan saat memungut kepingan-kepingan cerita ini. Satu per satu cerita terus mengalir tanpa ada tanda kejelasan apa sebenarnya yang Murakami coba untuk ceritakan. Kembali ke alasan di atas: saya tak kunjung menemukan titik penting kedua. Mengutip Bang Bernard Batubara saat mengulas buku yang sama, dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menyelesaikan Kafka on The Shore. Baru pada sekitar bab ke-20, saya mulai menemukan titik itu. Saat persinggungan antara Kafka dan Nakata mulai kelihatan melalui serangkaian kejadian aneh dan kelihaian Murakami dalam membuktikan bahwa fiksi bisa sejauh apa pun yang kita bayangkan.

Seberapa banyak absurditas yang muncul? Bagi saya banyak. Tapi justru ini yang menjadikannya menarik. Murakami banyak menampilkan sisi surealisme karyanya di buku ini. Saya tidak terlalu menemukan keanehan di Norwegian Wood, tapi memang teman saya bilang bahwa Norwegian Wood adalah karya Murakami yang paling ‘normal’. Setelah membaca Kafka on The Shore, barulah saya mengerti di mana letak ‘keanehan’ karya Murakami. Ada beberapa plot yang tidak saya duga mampu mengaduk perasaan dan melampaui imajinasi biasa.

Oedipus complex dan jiwa yang keluar

Entah di bab berapa, ayah Kafka pernah mengatakan bahwa suatu saat Kafka akan ‘berhubungan’ dengan ibu dan kakak perempuannya, serta akan membunuh ayahnya sendiri. Kutukan inilah yang berusaha Kafka tinggalkan dengan kabur dari rumah. Tentu bukan Murakami jika ceritanya tidak eksentrik; Kafka masih tetap terjebak dalam kutukan itu. Bahkan sadar atau tidak, ia menginginkan kutukan itu terjadi. Ia jatuh cinta pada sosok ibunya, Miss Saeki, saat berusia lima belas tahun yang entah bagaimana caranya bisa muncul di garis waktu saat ini — saat Kafka juga berusia lima belas tahun. Kemudian setelah berbagai hal yang terjadi, ia benar-benar ‘berhubungan’ dengan sosok dewasa ibunya.

Banyak yang berpendapat bahwa Kafka dalam cerita ini menunjukkan apa yang disebut Sigmund Freud sebagai oedipus complex, akumulasi dari ketidakhadiran peran ibunya sejak ia kecil. Lebih jauh lagi, pada suatu saat jiwa Kafka keluar dari tubuhnya (entah dideskripsikan Murakami hanya sebagai mimpi atau bukan), kemudian ‘berhubungan’ pula dengan Sakura yang di akhir disebut sebagai kakak perempuannya. Cukup… absurd, pikir saya.

Munculnya Johnnie Walker dan Colonel Sanders

Apakah yang dimaksud adalah Johnnie Walker merek wiski? Ya. Colonel Sanders ikon KFC? Ya, tidak salah lagi. Johnnie Walker yang muncul dalam buku ini digambarkan sama seperti ikon merek wiski terkenal itu — wearing a form-fitting red coat with long tails, a black vest, long black boots, white trousers, black silk hat, and a black walking stick. Ini bagian terburuk yang membuat saya ingin berhenti, tapi sekuat tenaga tidak saya turuti: Johnnie Walker mengumpulkan kucing, menyayat dadanya hidup-hidup, mengeluarkan jantungnya, memakannya dalam kondisi masih berdenyut, dan mengoleksi kepala-kepala kucing di dalam lemari pendingin. Ampun. Jiwa pecinta kucing saya terusik. Saya benar-benar mual membayangkannya. Kemudian dijelaskan bahwa Johnnie Walker ini adalah ayah Kafka yang akhirnya mati dibunuh oleh Nakata (atau sebenarnya dibunuh oleh Kafka saat jiwanya keluar dari tubuh? Entah, bagian ini juga masih menjadi misteri bagi saya).

Colonel Sanders di sini digambarkan sebagai sosok gaib — Murakami mendeskripsikannya sebagai objek tak berbentuk — yang mengambil penampilan ikon KFC: rambut putih dengan setelah baju putih. Ia muncul sebagai muncikari baik hati dalam sisi cerita Nakata dan secara tidak langsung menolongnya.

Hujan sarden dan lintah

Semenjak kejadian aneh di masa kecilnya, dengan sebab yang juga tidak dijelaskan hingga cerita berakhir, Nakata mampu berbicara dengan kucing. Dengan keahlian itulah ia menjadi pelacak kucing piaraan yang hilang milik warga sekitar. Hal ini yang kemudian mengantarkannya bertemu dengan Johnnie Walker. Setelah tragedi pembunuhan Johnnie Walker, ia pergi meninggalkan Nakano; menyusuri perjalanan yang sama seperti yang Kafka lalui dan kemudian bertemu dengan Miss Saeki. Setelah itu pula ia tidak lagi bisa berbicara dengan kucing, namun mendapatkan kemampuan magis pengganti: meluruskan tulang yang bergeser dengan tangan kosong serta menurunkan hujan sarden dan lintah. Mengapa sarden dan lintah, saya juga tidak mengerti. Di buku ini Nakata diceritakan sebagai tokoh yang membantu Miss Saeki menyelesaikan misinya, dan membantu Kafka dalam menyeberang ke ‘dunia lain’.

Bukan hal yang mudah bagi saya untuk menuntaskan buku ini dengan pemahaman sempurna. Selain tiga alasan teknis yang disebut di atas, alasan lainnya adalah rumitnya cerita yang disuguhkan serta berbagai teka-teki yang tidak memiliki jawaban. Saya curiga sepertinya Murakami memang sengaja meninggalkan banyak pertanyaan di dalam cerita ini dan membiarkan pembaca sendiri yang menginterpretasikannya. Setelah lima bulan waktu yang saya ambil dengan santainya untuk merampungkan bacaan, butuh waktu tambahan satu minggu lagi untuk menuangkannya dalam tulisan ini. Bolak balik saya mencoba mencari persepsi lain tentang Kafka on The Shore. Jungkir balik pula saya mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menceritakan secara singkat dan menggambarkan persepsi saya akan buku ini.

Apa yang teman saya bilang bahwa Murakami tidak pernah membuat bosan, di satu sisi saya setuju. Cerita yang disuguhkan Murakami secara keseluruhan memang menarik untuk dinikmati, tapi nampaknya bukan untuk dipahami secara paripurna. Di sisi lain, jelas saya merasakan kebosanan saat masih berjibaku memungut kepingan-kepingan awal cerita. Banting tulang memagari hati dengan kesabaran dan keikhlasan untuk terus membaca dan menemukan titik penting kedua.

Murakami banyak membahas berbagai sisi kehidupan manusia melalui tokoh Kafka, termasuk perenungan atas kesendirian, menemukan tujuan, kebencian, amarah, cinta, hingga dorongan seksual remaja. Menyelami Murakami lagi terasa seperti memasuki gerbang ke dunia lain: membiarkan imajinasi terbawa fiksi sejauh yang ia bisa, dan kemudian teringat bahwa di balik cerita yang nyata-tidak-nyata tersebut, kita perlu kembali.

Saya tidak begitu menyukai hal jepang-jepangan yang banyak orang sukai seperti anime, film, drama, lagu, bahkan makanannya— kecuali yang familiar seperti udon atau sushi. Tidak disangka, ternyata saya jatuh lebih dalam pada karya salah satu penulisnya dibanding hal-hal itu. Murakami sedikit banyak berhasil menyeret saya kepada ketertarikan akan budaya, filosofi hidup, dan gambaran akan Jepang itu sendiri. Meskipun karya kontemporer Murakami ini banyak dipengaruhi oleh gaya Barat, bagi saya sudah cukup untuk memantik minat yang lebih akan Jepang. Barangkali suatu saat bisa ke sana.

Saya menantikan menyelami Murakami lagi, masih banyak karyanya yang menarik untuk didalami. Tapi mungkin nanti. Sementara biarlah saya kembali ke realita lagi sambil mengilhami salah satu kutipan favorit saya yang diucapkan oleh Hoshino, tokoh lain dari sisi cerita Nakata, kepada Nakata:

“Asking question is embarrassing for a moment, but not asking is embarrassing for a lifetime.”

Jadi, sampai jumpa kembali.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet