Membaca yang Dulu, Merelakan yang Lalu
Kalau ditanya hobi, saya akan selalu jawab: membaca dan menulis. Walau tidak sesering itu, keduanya tetap menjadi kegiatan favorit saya. Terlebih, membaca adalah hobi yang seringkali saya banggakan. Siapa yang tidak setuju kalau gemar baca itu adalah hobi yang baik?
Tapi kalau dipikir lagi, hobi itu tidak sepatutnya saya besarkan lagi. Saya harus mengakui bahwa: I was an avid reader. Was.
Semasa sekolah, saya sangat gemar membaca. Tak jarang saya merasa bangga pada diri sendiri tentang bagaimana buku 800an halaman bisa rampung dalam dua hari. Dahulu, tangan saya jarang luput dari buku bacaan; tak sabar mengusap lembaran buku yang menunggu giliran dilumat, apalagi novel fiksi. Fiksi terasa seperti tempat saya kabur dari realitas hidup dan melantan imajinasi menuju dunia lain.
Bagaimanapun, mau tak mau, saya harus mengakui bahwa hobi baca bukan lagi hal yang saat ini bisa saya banggakan. Belakangan buku dengan 400an halaman baru bisa saya rampungkan minimal dalam tiga bulan. Sebagian besar buku yang saya beli bertengger di rak bertahun-tahun — alamat tidak akan pernah dikhatamkan.
Akhirnya, kemarin saya putuskan bahwa saya harus merelakan diri saya yang dulu. Saya harus terima kenyataan bahwa memiliki minat baca yang tinggi bukan lagi kelebihan yang bisa saya akui. Membaca dan menelusuri lembaran cerita dan pemikiran nampaknya tak lagi menjadi kegiatan yang bisa bikin saya ketagihan, setidaknya untuk saat ini.
Hari itu, saya putuskan untuk melepaskan beberapa buku DNF (Do Not Finish) yang selama ini saya pertahankan — sebagai tanda bahwa saya sudah bisa menerima kenyataan pahit tersebut. Saya harus menelan semuanya terlebih dahulu sebelum bisa mulai berupaya membangun minat itu kembali.
Melepaskan kebiasaan yang dulu dan merelakan yang tak lagi ada dalam diri ini mengantarkan saya pada kontemplasi yang lebih jauh: mengapa melepaskan kadang terasa sulit?
Sejujurnya, melepaskan tidak pernah benar-benar sulit bagi saya. Tak terhitung momen di mana saya — dan mungkin kita — harus belajar ikhlas merelakan banyak hal; menerima apa yang ada. Sampai-sampai dalam beberapa aspek, sepertinya saya sudah jadi orang yang pasrahan. Kebanyakan menunaikan prinsip narimo ing pandum.
Pun sebagai orang yang akalnya terpaut kuat dengan masa depan, bukan sebuah kemuskilan berarti bagi saya untuk meninggalkan masa lalu dan terus beranjak maju. Menjadi futuristis seperti ini kadang bagaikan candu sekaligus obat. Di satu sisi dengan memandang jauh ke depan, saya bisa dengan ringan memilah apa saja yang perlu mendapat upaya dan ruang di dalam kepala, dan apa yang tidak. Di sisi lain, hal itu membuat saya lupa caranya menikmati hidup yang ada di depan mata. Konsep live in the present masih menjadi barang mahal yang belum mampu saya beli dengan mudah. Tapi tentu saja, saya masih belum berhenti belajar dan mengamalkannya.
Beranjak maju juga identik dengan pengalaman-pengalaman buruk di masa lalu — pada hal-hal yang sebaiknya kita tinggalkan dan lupakan. Baru belakangan saya sadar bahwa ada banyak juga hal baik di masa lalu yang sadar tak sadar semakin saya tinggalkan. Seperti minat baca itu misalnya. Masih lekat di ingatan rasa girang yang membuncah saat buku dari penulis kesayangan saya terbit. Saya masih hapal betul bagaimana nikmatnya setiap waktu yang bergulir saat menelusuri kata demi kata — saat kembali lagi ke awal paragraf untuk menelanjangi maksud kalimatnya. Pun bagaimana imajinasi saya dibawa berkelana ke dalam dunia yang sebenarnya tidak ada tapi terasa nyata. Energi-energi positif macam itu nampaknya sudah semakin sukar hinggap dalam diri saya.
Hal-hal baik seperti ini yang tidak siap saya lepaskan. Kenyataan bahwa saya tidak lebih baik dibandingkan dengan diri di masa lalu itulah yang nyatanya membuat saya merasa sedih. Rasanya seperti menjadi manusia yang merugi — yang tidak lebih baik dari hari kemarin.
Dari sini, saya dipaksa mengarifi kembali bahwa melepaskan itu memang kadang tidak mudah, terlebih jika yang dilepaskan adalah sesuatu yang agaknya terlampau baik untuk sekadar menjadi ‘pernah’.
Pada akhirnya, saya sadar bahwa akan ada saat di mana melepaskan adalah pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan mempertahankan. Merelakan segala yang tidak lagi menjadi muasal ketenangan dan muara tujuan seharusnya bisa menjadi tanda bahwa kita telah bertumbuh — telah menjadi manusia yang lebih baik.
Melepaskan juga bukan hanya perkara mengosongkan ruang dan memberi tempat untuk hal baru. Lebih dari itu, melepaskan berarti memberi kita ruang untuk memafhumi bahwa hidup terus bergulir maju ke depan, banyak hal yang tak lagi sama, manusia berubah, dan hal-hal itu tak selamanya menjadi masalah. Selama upaya menjadi lebih baik tidak pernah dipadamkan, meski hasilnya tak sesuai harapan, ya, tidak apa-apa. Terus jalan saja.
Jika memang sudah saatnya melepaskan, ya, lepaskan. Tidak mudah, tapi bisa. Toh keikhlasan adalah hal yang mesti dilatih seumur hidup, bukan?