Kue dan Jeda

Tiga hari lalu, saya memesan kue.

Pradita Agustina
3 min readFeb 21, 2021

‘Tiga hari lalu, saya memesan kue’ tentu bukan sebuah kalimat yang cukup menarik untuk mengawali sebuah tulisan, saya tahu. Apa yang menarik dari seseorang membeli kue?

Tapi tetap saja, tiga hari lalu, saya memesan kue. Unggahan promosi kue estetik mini ala Korea semakin marak berseliweran di akun media sosial saya. Mungkin karena dulu saya pernah menelusuri iklan bersponsor tentang kue tersebut, jadilah algoritma media sosial yang kian menyerupai reserse itu semakin menyodorkan saya dengan iklan-iklan serupa. Sudah sejak lama saya berniat membeli kue itu untuk diri sendiri, tapi kok seperti tidak ada momen yang pas. Hingga akhirnya beberapa waktu lalu, saya putuskan untuk beli.

Satu bulan ke belakang, ada cukup banyak waktu luang bagi saya karena sedang libur kuliah. Saya pun mendaftar berbagai kelas maupun seminar, memberanikan diri mengambil tanggung jawab di beberapa kegiatan, hingga memboyong pulang tiga dari sembilan buku DNF (do not finish) yang telah bertengger manis di rak bertahun-tahun. Saya kalap. Semuanya dilakukan untuk merealisasikan prinsip yang sedang saya upayakan: terus berjalan dan bertumbuh. Entah jalan ke mana dan tumbuh yang seperti apa, pokoknya terus jalan dan tumbuh.

Hingga tiba di minggu lalu, saya mulai menemui titik lelah. Kegiatan yang saya ikuti mulai keroyokan melibas fisik, emosi, dan mental dengan realita bahwa sesungguhnya saya kerepotan. Tiga pertemuan bentrok di satu waktu, dan semuanya menuntut keterlibatan aktif. Salah satu buku yang sedang saya coba selesaikan ternyata memang memiliki bahasan yang cukup berat dan menuntut fokus tingkat tinggi. Kegiatan-kegiatan yang saya ikuti ternyata menuntut saya untuk hadir, paham, dan cekatan. Saya keteteran.

Alhasil, untuk menggenjot semangat lagi, saya putuskan memesan kue estetik dengan pesan penyemangat bagi diri sendiri. Saya pilih satu toko kue yang menjual kue vegan — supaya makan enak, tapi tetap berasa sehat, pikir saya. Setelah sekian saat menimbang kue seperti apa yang diinginkan, saya pilih desain yang simpel saja: kue dengan warna biru dongker gelap dan kuning — biru dongker sebagai salah satu warna favorit saya, dan kuning yang bisa menonjolkan tulisan di atasnya supaya pesannya terkesan kuat.

“Desainnya simpel saja, Kak. Ada gradasi kuning di bawah. Tulisannya kuning juga dan pakai huruf kecil sambung, bagian atasnya pakai tekstur lapisan gitu. Tulisannya: keep going you’re growing,” penjual mengiyakan setelah saya kirim foto referensi. Kesepakatan dibuat. Kue saya akan dikirimkan esok hari.

Satu hari berlalu, siapa sangka bahwa yang saya jumpai kemudian malah ironi. Motif awal membeli kue untuk menyemangati dan mengapresiasi diri sendiri ternyata tidak makbul. Bukan karena kuenya tidak sesuai ekspektasi. Kue sampai dengan selamat, dan desainnya sangat sesuai dengan keinginan. Tapi apa daya, saat kue sampai dua hari lalu, saya baru menyadari bahwa ternyata bukan ini yang saya butuhkan. Bukan kalimat pengingat supaya saya terus jalan dan semangat, melainkan: jeda untuk rehat.

Kala itu, saya sudah keburu mencapai titik terjenuh. Saya menduga inilah yang dinamakan burn out — kelelahan fisik, emosi, dan mental. Sesuatu yang belum benar-benar saya antisipasi. Seminggu terakhir terasa terlalu runyam; kepala saya sampai terasa sakit dan berat. Saya menyesali keputusan untuk mengiyakan ini-itu. Saya ingin segalanya cepat berakhir. Saat kue datang, saya tidak merasa tulisan kuning itu cukup mampu membuat saya percaya pada kalimat yang saya coba gaungkan dalam kepala: keep going, you’re growing.

Sebulan ke belakang, saya lupa diri. Saya khilaf bahwa tubuh punya energi yang bisa habis. Emosi bisa terus tergerus dan pikiran bisa dengan mudahnya dihinggapi kemelut. Saya gagal membuat jeda dan membiarkan diri merangkul joie de vivrekenikmatan menjalani hidup — yang seharusnya bisa lebih dioptimalkan di masa libur itu.

Saya bahkan tidak berhasil menangkap pesan dari makna libur kuliah itu sendiri: untuk memberi jeda pada diri, untuk mengingatkan bahwa menuntut ilmu itu butuh energi. Libur, bagaimanapun, adalah waktu rehat. Tapi tentu, manusia tidak sempurna — saya jauh dari sempurna. Rasanya hidup ini cuma serentetan peristiwa untuk mengingatkan saya agar mengerti lebih baik tentang diri sendiri, kebisingan dunia, dan segala hal di belakangnya.

Pada akhirnya, momen ini kembali menjadi refleksi dan pelajaran bagi saya. Peringatan untuk membuat jeda dan mengambil rehat justru menjadi pelajaran yang lebih penting dari segala hal yang saya pelajari sebulan terakhir.

Terus berjalan belum tentu dapat mengantarkan kita pada tujuan dengan aman. Sejenak berhenti dan merebahkan hati itu mandatori. Dan yang paling penting, dalam upaya untuk berdaya, kita butuh jeda.

Tulisan yang saya minta pada penjual kue seharusnya:

Keep going, do pausing. You’ll be growing and lasting.

Tentu saja, saya butuh kue yang lebih besar.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet