Emak

—yang mengakar dari yang ditinggalkan.

Pradita Agustina
7 min readApr 21, 2022
Photo by Danie Franco on Unsplash

Mei 2013

Siang itu saya mampir ke rumah nenek. Rumahnya tidak begitu jauh, tapi saya harus menyambung tiga angkutan umum untuk sampai di sana. Saat sampai, nenek sedang sendirian saja — seperti biasa. Saya datang untuk mengabarkan bahwa saya sedang mendaftar salah satu kampus impian, dan sudah dapat beasiswa untuk itu.

“Lagi daftar, Mak. Kalau dapat, insyaallah pakai beasiswa penuh sampai lulus.” Saya memanggil nenek dengan sebutan Emak. Sebetulnya itu adalah panggilan Ibu saya dan saudari-saudarinya kepada nenek. Tapi apa boleh buat, seluruh cucunya turut serta menjiplak panggilan tersebut berhubung itulah yang kami pelajari dari ibu kami.

“Alhamdulillah, syukur, atuh,” ujarnya. Tak lama, Emak berganti pakaian, merapikan tas, dan ternyata mengajak saya pergi.

“Mau ke mana, Mak?” tanya saya bingung. Belum juga lama saya sampai, masak mau pergi?

Hayuk (ayo), kita ke bank. Bikin tabungan buat kamu,” ajak Emak dalam bahasa Sunda. Saya tanyakan kembali tabungan untuk apa yang ia maksud. Emak menjawab “Biar kamu punya tabungan sendiri buat sekolah. Nanti Emak yang isi tabungannya,” ujarnya.

Saya manut. Kami pun pergi ke salah satu bank negeri terdekat. Kondisinya cukup ramai, mungkin karena ini pukul sepuluh pagi di hari kerja. Sesampainya di sana, kami mengantre. Emak maju menghadap petugas customer service sambil saya dampingi, khawatir ada yang tidak ia mengerti.

Saya bingung. Pertama, petugasnya menjelaskan bahwa ada biaya setoran minimum untuk membuka tabungan baru. Kedua, ternyata uang yang Emak miliki tidak cukup untuk memenuhi biaya minimum tersebut. Saya jelaskan ke Emak. Raut mukanya berubah sedih. Kemudian kami memutuskan untuk pulang.

Baru belakangan saya benar-benar menerima kenyataan bahwa daya ingat saya melemah. Padahal saat SMA, menghapal kata-kata, tanggal, hingga nama-nama di buku pelajaran sejarah adalah bagian favorit saya. Sekarang? Bah. Tidak banyak memori yang saya ingat. Sepanjang yang saya usahakan ingat, tidak banyak pula memori yang saya punya bersama Emak. Ketika tahun lalu ditawari untuk membagikan perspektif tentang pentingnya lanjut pendidikan dalam sebuah forum kampus, saya jadi merenungi lagi apa makna pendidikan bagi saya. Tak disangka, memori dari sembilan tahun silam inilah hadir paling depan dalam laci ingatan.

Emak adalah seorang pekerja keras. Saya tidak hapal sudah berapa puluh tahun ia hidup sendiri. Ia masih mencari uang sendiri dengan berjualan olahan buah pala hingga hari tuanya. Kata Ibu saya, Emak adalah ibu yang sangat galak. Ia hanya lulusan SD, tapi sejak dulu, ia selalu mendukung anak cucunya untuk bisa terus sekolah. “Sekolah yang tinggi, ya, Neng. Jangan kayak Emak,” ucapnya dulu pada saya. Pun ketika saya bilang mau lanjut kuliah, Emak adalah salah satu yang paling sumringah dan mendukung saya melampaui yang ia bisa.

Kuatnya jiwa dan teguhnya prinsip Emak diturunkan kepada ibu saya — Mama. Mama dan adik-adiknya punya nasib yang lebih baik: berhasil menamatkan pendidikan hingga SMA. Sejak dulu, Mama lah yang paling depan memperjuangkan anak-anaknya untuk bisa sekolah di tempat terbaik yang mampu dicapai. Tak peduli kadang nilai anaknya pas-pasan, jaraknya terlampau jauh, atau biayanya kelewat mahal, pokoknya satu: sekolah yang tinggi, sekolah yang bagus. Saya sampai harus menggagalkan diri ketika Mama bersikeras agar saya mengikuti seleksi masuk SMA bertaraf internasional di kota kami — entah karena memang saya yang tidak mumpuni, atau memang misi saya berhasil, akhirnya saya tidak masuk sekolah itu dan masuk sekolah reguler yang lebih tidak memberatkan orang tua saya.

Suatu hari saat saya berulang tahun ke-26 dan sedang menikmati hangatnya matahari sore di Pantai Selatan bersama Mama, tebersit pikiran untuk menanyakan alasan mengapa ia sangat ngotot perihal pendidikan, tak peduli segala keterbatasan dan tantangan menggelayuti kaki keluarga kami.

“Hanya pendidikan yang bisa mengantarkan kita kepada hidup dan diri yang lebih baik. Hanya pendidikan yang bisa mengangkat derajat kamu dan orang-orang sekitar kamu. Tempat (sekolah) yang bagus akan membuka pintu ke tempat-tempat yang lebih baik lagi,” ujarnya.

Saya terenyuh. Saya mafhum bahwa prinsip ini adalah apa yang ia dapatkan dari Emak. Apa yang Emak wariskan kepada Mama, adalah apa yang kemudian Mama tanamkan kepada anak-anaknya dan menjadi akar dalam segala upaya saya belajar hidup dan bermimpi. Terlebih, sebagai perempuan.

Belakangan, semua memori tentang pendidikan dan kaitannya sebagai perempuan itu kembali memenuhi kepala saya — menguap dan berisik bagaikan ketel air mendidih yang meminta untuk diangkat. Api yang memasaknya tak lain adalah berbagai ungkapan yang menggoyahkan keyakinan diri saya, bahkan dari orang-orang terdekat. Ujaran-ujaran seperti ‘perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi’, ‘jangan terlalu berambisi’, hingga pertanyaan ‘apa, sih, yang dicari?’ beberapa kali saya dapatkan ketika saya menunjukkan niat untuk mengupayakan pendidikan sebaik-baiknya.

Pada awalnya, hal tersebut membuat saya sedih dan takut. Selama beberapa waktu, saya ragu untuk menunjukkan diri sebagai orang yang yakin akan apa yang dimau — sebagai seorang pekerja keras yang tidak ragu untuk memperjuangkan hal-hal yang berarti bagi saya. Saya tenggelam dalam ketakutan untuk merangkul kebenaran diri. Lebih buruk, saya takut untuk menjadi diri sendiri. Selama beberapa saat, saya biarkan pemikiran-pemikiran ini menggelayut di dalam kepala. Hingga akhirnya saya sadar, tidak seharusnya saya mengkhianati akar yang menjalar di dalam tanah tempat saya bertumbuh — apa yang ditanamkan oleh Emak dan Mama, dan telah menjadi prinsip hidup bagi saya sendiri.

Bagi saya, pendidikan bukanlah upaya untuk membuat manusia menjadi orang yang besar, pintar, dan benar. Pendidikan seharusnya menjadi suatu upaya penanaman adab. Mama tak pernah lelah mengingatkan: adab sebelum ilmu. “Buat apa pintar, kalau tidak dibarengi dengan akhlak yang baik,” ujarnya. Pendidikan hadir bukan untuk membuat seseorang menjadi tinggi dengan ilmu yang dimiliki, tapi justru untuk membuat seseorang menjadi rendah hati dan pintar menakar diri. Sebab, semakin belajar semakin kita semestinya menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang tidak kita pahami. Apa yang mungkin mampu kita pahami hanyalah satu tetes di tengah lautan ilmu-Nya.

Saya mengilhami bahwa pendidikan penting bagi seluruh insan. Ia tidak hanya terbatas pada konteks bangku sekolah dan pendidikan keduniawian. Lebih dari itu, pendidikan mencakup segala upaya pengembangan diri dan usaha untuk menjadi lebih baik bagi dirinya, keluarga, agama, hingga bangsanya. Ia adalah senjata ampuh bagi kemajuan; terlebih, bagi perempuan yang disebut sebagai pembawa peradaban.

Saya percaya bahwa pendidikan untuk perempuan, sejatinya adalah pendidikan untuk generasi.

“You educate a man: you educate a man. You educate a woman: you educate a generation.”

— Brigham Young

Apa yang saya dapat dari Mama, yang juga ia dapatkan dari Emak adalah bukti bahwa pendidikan untuk perempuan bukanlah pendidikan bagi dirinya semata. Perempuan memiliki pilihan, kesempatan, kemampuan, dan kekuatan untuk mewariskan keteguhan prinsip dan keindahan pemikirannya, paling tidak dari lingkup sosial terkecil: keluarganya.

Pendidikan bagi perempuan seharusnya tidak lagi menjadi barang yang mahal dan tabu. Perempuan yang belajar tidak seharusnya dianggap sebagai upaya melupakan kodrat dan melawan alam. Perempuan tidak seharusnya dipaksa memilih antara pendidikan atau keluarganya, sebab sedianya pendidikan yang baik bagi dirinya adalah sebuah upaya pembangunan keluarganya — lebih jauh, generasinya.

Pendidikan bagi perempuan, dari sisi manapun, tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengungguli laki-laki dan meninggikan diri. Buah pemikiran ini telah dengan teguh diperjuangkan RA Kartini lebih dari seratus tahun lalu:

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901.

Apa yang ditanamkan Emak kepada turunannya tentang pendidikan bagi kami, terlepas dari segala hambatan dan tentangannya, perlahan telah menjadi suatu akar yang merambat dan menyokong tegaknya keinginan untuk bertumbuh dan bermanfaat. Saya beruntung dilahirkan dalam garis keturunan perempuan yang memandang pendidikan sebagai suatu upaya perjuangan hidup. Saya bersyukur karena diberikan kesadaran untuk menyambut dan memanfaatkannya.

Juli 2013

Pengumuman penerimaan kampus impian saya keluar. Saya diterima. Ingin rasanya saya segera memberitahu Emak tentang kabar bahagia ini. Sebelumnya, saya sudah bilang pada Emak bahwa saya juga diterima di sebuah kampus di Semarang, tapi Emak khawatir, “Tunggu pengumuman satunya lagi aja. Kalau bisa jangan yang jauh-jauh dari rumah, biar dekat keluarga,” ujarnya.

Niat untuk memberikan kabar bahagia ini nyatanya harus saya redam: Emak sudah keburu dalam kondisi kritis. Dua bulan terakhir, kesehatannya menurun karena penyakit paru-paru dan berbagai komplikasi lain yang dialaminya. Ia baru dipulangkan dari rumah sakit dalam kondisi tidak sadarkan diri dan kaki yang bengkak dipenuhi cairan. Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah sakit. Dokter menyarankan untuk dirawat di rumah saja.

Siang itu saya hanya duduk di samping kasur sambil memijat kakinya dan membisikkan kabar bahagia itu. Mungkin Emak dengar, pikir saya, meskipun nyatanya Emak tidak bergeming sedikitpun.

Beberapa hari kemudian, kondisinya semakin parah. Emak kembali dibawa ke rumah sakit dan sudah harus menggunakan alat bantu pernapasan. Napasnya terdengar berat dan tidak jernih, seperti banyak gumpalan di dalam dada dan kerongkongannya. Perawat sudah mengingatkan kepada saya, Mama, dan Tante yang sedang bertugas mendampingi, “Siap-siap aja, ya. Jangan lepas doa,” katanya.

Saya berada tepat di sampingnya saat ia menghembuskan napas terakhirnya di pukul satu malam. Saya menjadi orang terakhir yang mengantarkannya ke kamar mayat saat dingin menusuk; saat tubuhnya tidak lagi memancarkan kehangatan dan kematian bukan lagi sebatas bayang ketakutan.

Emak telah berpulang kepada penciptanya.

Tak ada lagi momen yang dapat diulang, namun warisan semangat serta pemikirannya tetap nyala, dan masih hidup di bawah garis keturunannya.

Selamat Hari Kartini untuk seluruh wanita dengan segala tanggung jawab, mimpi, kelemahan, kekuatan, dan cintanya — yang dengannya kita mampu untuk terus tumbuh dan memberi arti.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet