Bunga dari Bunga

— mengajak anak-anak untuk menjadi ‘anak’ yang sesungguhnya.

Pradita Agustina
7 min readJul 29, 2019
Berfoto bersama Pramugari dalam sesi ‘Aku Ingin Menjadi’ di Jambore Sahabat Anak XXII.

“I believe the children are our future. Teach them well and let them lead the way. Show them all the beauty they possess inside.”

— Whitney Houston

“Cita-cita kamu mau jadi apa?” tanya saya pada Bunga siang itu, saat ia sedang malas-malasnya mengikuti rangkaian kegiatan.

“Enggak, enggak mau jadi apa-apa,” balasnya sambil melempar wajah kesal ke arah lain. “Ayo, Kak, ke tenda aja. Aku malas ikut ini, mending tidur. Ngantuk!”

Saya membuntuti Bunga yang berjalan menuju kursi taman sambil mencoba memeluknya, mengajak bicara — sebuah pekerjaan sulit karena ia selalu mencoba kabur saat akan dipeluk, bahkan menolak saat saya mencoba menggandengnya sewaktu berjalan. “Enggak usah pegang-pegang, Kak!” protesnya.

“Kenapa malas? Ini seru lho, acaranya. Besok ada bagi-bagi hadiah. Masa enggak mau hadiah?”

Bunga merengut sambil merebahkan tubuhnya di kursi taman. “Harusnya aku bantu kakakku jualan, tahu. Mending bantu kakak daripada di sini.”

Tiga detik berikutnya saya hanya bisa terdiam sebelum akhirnya kembali menanggapi. “Memang enggak ada yang bantu kakak jualan selain kamu?”

Bunga hanya menggeleng. Saya kembali mencoba membujuknya sekuat tenaga supaya ia semangat menyusuri pos-pos permainan di Bumi Perkemahan Ragunan. Sambil ndumel dan malas-malasan, Bunga tetap mendengarkan dan berusaha mengikuti seluruh rangkaian acara.

Hari itu merupakan hari pertama pelaksanaan Jambore Sahabat Anak (JSA) XXII, sebuah acara perkemahan edukasi yang mengundang anak-anak marjinal dari berbagai komunitas untuk membuat mereka ‘melupakan sejenak’ rutinitas sehari-hari, menanggalkan baju ‘pekerja anak’, dan hanya mengenal kata main dan main selama kegiatan. Acara ini diadakan oleh Yayasan Sahabat Anak, sebuah yayasan nirlaba yang memperjuangkan terpenuhinya hak anak, khususnya anak marjinal dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional setiap tahunnya.

Tiga bulan sebelumnya, pada suatu malam di kedai kopi seorang kawan karir menginfokan tentang rekrutmen volunter untuk acara tersebut. Teringat pernah mengikutinya tahun 2014, saya mencari tahu lebih lanjut tentang acara di tahun ini dan langsung mendaftar bersama kawan karir tersebut. “Biar kita makin berfaedah, Dit,” katanya. Tak lama pengumuman seleksi keluar, jadilah kami volunter walaupun harus melalui drama waktu kegiatan yang bentrok dengan acara kantor terlebih dahulu.

Kami sebagai volunter bertugas untuk mendampingi dua orang anak selama acara berlangsung. Saya ditugaskan untuk mendampingi anak-anak dari komunitas Bungur Punya Cerita (BPC), sebuah komunitas sukarelawan pendidikan nonformal di daerah Bungur, Jakarta Pusat. Kawan karir saya ditugaskan untuk mendampingi anak-anak di komunitas lain.

Pertama kali datang ke Bungur sekitar satu bulan sebelum acara, saya dan volunter lainnya disambut dengan wajah ceria anak-anak. Mereka otomatis memasang wajah penasaran, menyapa, dan mencium tangan kami. Setelah sempat bertanya kepada beberapa anak, saya mendapati bahwa kebanyakan orang tua mereka berprofesi sebagai pedagang, entah di Pasar Senen, Pasar Poncol, atau di pinggir Jalan Senen maupun Bungur.

Saya teringat penjelasan Kak Dian, ketua Yayasan Sahabat Anak, pada saat pembekalan volunter. Menurut penjelasannya, ada tiga kategori anak jalanan/marjinal, yaitu: children of the street, anak-anak tanpa rumah yang benar-benar tinggal di jalan; children on the street, anak-anak yang sehari-harinya berada di jalan (biasanya untuk bekerja) dan masih memiliki rumah untuk pulang; serta children vulnerable to be on the street, anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan. Ketiganya tidak jauh dari klasifikasi street children lainnya yang diberikan oleh UNICEF: street-living children, street-working children, dan street family (children at risk).

Berdasarkan hasil pengamatan saya, sebagian besar anak-anak di komunitas BPC tergolong ke dalam kategori yang ketiga. Termasuk Bunga dan Via (nama samaran), dua anak perempuan dampingan saya yang orang tuanya bekerja sebagai pedagang di pasar.

Via anak yang kalem, tidak banyak bicara. Penurut. Mengerti dan mengangguk pada setiap petunjuk dan nasihat yang saya ucapkan. Senang dipeluk dan seringkali mencari saya setiap kali saya sedang tidak di dekatnya. Ini bukan kali pertama ia mengikuti JSA. Beberapa kali saya mendapatinya terlihat bosan, ngantuk, malas, atau lelah, tetapi masih tetap memaksa dirinya sendiri mengikuti seluruh acara.

Bunga 180° berbeda dari Via. Ia anak yang bebas, tak suka didikte atau dinasihati. Cenderung individualis, tidak suka kebebasannya dibatasi. Ini kali pertama ia mengikuti JSA. Sepanjang hari pertama ia hanya merengut, protes, dan uring-uringan ingin tidur saja. “Capek, Kak. Aku tuh biasa tidur siang, tahu!” protesnya. Setiap kali diajak berfoto, ia akan menjawab “Enggak mau, ah. Ngapain, sih. Kakak foto sama Via aja sana!”

Salah satu sesi siang itu adalah sesi Jika Aku Menjadi. Terdapat beberapa pos materi pada sesi ini yang memperkenalkan anak-anak pada keterbatasan fisik. Di Pos Dengar dan Bicara, kami diperkenalkan dengan tuna rungu dan tuna wicara, serta diajarkan penggunaan dasar bahasa isyarat. Sementara di Pos Tangan dan Kaki, kami diperkenalkan dengan seorang atlet Asian Paragames (kalau saya tidak salah ingat), yang kakinya lumpuh namun berhasil menjuarai berbagai kompetisi. Atlet tersebut juga menceritakan tentang bagaimana ia bisa menjadi lumpuh karena tawuran semasa muda, serta bagaimana ia melalui tiga tahun pertama yang kelam pasca kelumpuhannya untuk dapat kembali bangkit dan ‘hidup’.

Menjelang sore, kami, para volunter, diminta berdiskusi dengan para adik dampingan untuk membahas tentang apa yang berhasil mereka peroleh dari kegiatan sebelumnya. Sambil duduk di atas terpal bersama peserta dan pendamping lain, saya pun mencoba menggali pendapat Bunga dan Via.

“Kita beda-beda ya, Kak. Ada yang lumpuh, ada yang tuli…” ujar Via.

“Iya, betul. Kita ini berbeda. Enggak ada yang sama. Ada yang tuli, ada yang kakinya lumpuh, ada yang rambutnya lurus, ada yang kulitnya putih. Sukunya juga beda-beda, kan? Orang tua kalian asalnya dari mana?”

“Ibu aku dari Jakarta dua-duanya, Kak.” Bunga menanggapi, terlihat sedikit lebih antusias dari biasanya.

“Ibu aku dari Jakarta, Kak. Ayahku dari Jawa.” timpal Via.

“Betul, kan? Asal daerah kita juga beda-beda. Terus, walaupun beda, kita harus bagaimana, dong?” pancing saya.

“Harus tetap saling menghormati, Kak. Harus tetap saling tolong dan berbuat baik!” jawab Bunga sambil mengacungkan tangannya. Ia jelas terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Tidak uring-uringan lagi.

“Kak, waktu itu aku pernah nolongin kakek-kakek mau nyeberang jalan. Aku antar ke rumahnya. Kakeknya buta, enggak bisa lihat,” lanjut Bunga. “Kakeknya mau kasih uang, tapi enggak aku terima,” sontak saya tersenyum.

“Oh, ya? Kenapa enggak kamu terima?”

“Ya, enggak apa-apa. Aku ‘kan ikhlas nolongnya,” saya terenyuh. Gadis yang saya pikir cuek, tidak begitu peduli dengan sekitarnya, ternyata punya hati yang begitu mulia. Hati anak-anak.

Good! Mau orang tua, anak-anak, beda agama, beda suku, harus tetap kita tolong. Oke?” saya pun melanjutkan sisa sore dengan mendengarkan kebaikan-kebaikan lain yang pernah Bunga dan Via lakukan serta berbagai pengalaman mereka tentang perbedaan.

Bertemu dan lebih mengenal Bunga dan Via beserta anak-anak lainnya di dua hari itu membuat saya kembali menyadari bahwa setiap anak berharga. Entah apa latar belakangnya, masa lalunya, seperti apa keluarganya, apa cita-citanya, mereka tetap berharga. Mereka tetap anak-anak yang kelak akan menjadi tonggak penerus bangsa.

Saya menyadari bahwa mereka tidak memiliki banyak hal dalam hidupnya, namun mereka memiliki banyak hal dalam diri yang perlu untuk mereka percayai. Banyak hal baik dalam diri mereka yang tidak mereka sadari dan butuh untuk diekspresikan dengan berani.

Anak-anak ini, dengan segala keterbatasan yang mereka miliki, umumnya berpikir bahwa mereka kurang berarti. Tidak seperti anak-anak lainnya yang ‘beruntung’. Mereka cenderung merasa terpinggirkan, tidak percaya bahwa mereka bisa bermimpi dan bisa menjadi apa yang mereka inginkan. Cita-cita dan mimpi nyaris seperti bukan barang konsumsi yang pantas didahulukan, urusan perut lebih penting daripada jauh-jauh memikirkan hal-hal yang demikian.

Anak-anak ini, dengan segala kondisi dan perjuangannya berjibaku di jalanan dan keramaian, semakin lupa bahwa terlepas dari itu semua, mereka adalah anak-anak. Ada hak-hak yang seharusnya dapat dipenuhi lebih dahulu sebelum mereka melakukan apa yang mereka anggap sebagai kewajiban. Hak-hak ini termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan, hingga hak untuk bermain. Ada banyak hal dalam diri mereka yang seharusnya bisa mereka sadari dan dengan bangganya mereka jadikan bekal untuk tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya.

Bukan tugas yang mudah untuk dapat memisahkan mereka sejenak dari keseharian mencari nafkah, dan membuat mereka berperan sebagai anak sebagaimana mestinya. Saya kagum kepada orang-orang yang bersedia memberikan komitmen —yang lebih dari sekadar volunter lepasan macam saya— dalam meluangkan begitu banyak waktu, tenaga, pikiran, hingga materi untuk dapat membantu anak-anak ini menyadarkan dirinya bahwa mereka berharga. Orang-orang yang berusaha membantu membangun citra diri yang baik bagi anak-anak yang seringkali terpinggirkan. Orang-orang yang sudi terlibat untuk turut memenuhi hak-hak anak yang belum mereka dapatkan sepenuhnya. Orang-orang yang dengan kesadarannya bersedia mengulurkan tangan kepada orang lain dan mengajak untuk turut peduli. Semoga Allah SWT. selalu memudahkan jalan bagi orang-orang ini.

Rangkaian acara ditutup dengan berbagai penampilan tari, puisi, hingga lagu. Seluruh peserta berbaris di depan panggung utama. Saya berada di barisan paling akhir, memantau anak-anak dari belakang sambil menikmati penampilan bersama teman-teman volunter pendamping lainnya. Di tengah pertunjukkan puisi oleh salah satu komunitas, salah seorang anak perempuan di depan saya menoleh ke belakang.

“Kak, ini dari Bunga. Katanya buat Kak Dita,” ucapnya sambil mengulurkan bunga mawar kertas berwarna kuning. Saya tersenyum sambil mendongak mencari Bunga yang berada di barisan depan. Sayang tidak kelihatan.

Acara berakhir. Saya mencari Bunga dan Via, memeluk mereka dan mengajaknya berfoto bersama. Kali ini Bunga tidak menolak diajak foto bersama.

“Terima kasih ya buat bunganya!” ucap saya pada Bunga. Ia berusaha memalingkan wajahnya, malu. Pun kali ini, ia tidak berontak saat tangannya digandeng.

Sesampainya di Bungur, di tempat kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing, Bunga beberapa kali menghampiri saya untuk pamit. Lebih dari sekali.

“Kakak, terima kasih, ya! Nanti main ke sini lagi ya!” ujarnya sambil memasang wajah lelah namun ceria, dan kemudian memeluk saya.

Di balik sikap keras dan defensifnya, Bunga menyimpan hati yang lembut dan jiwa yang bersih. Hati yang perlu untuk dilindungi. Jiwa yang perlu dibantu untuk disadarkan akan citra dan potensi dirinya. Bunga, Via, dan yang lainnya adalah anak-anak yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya, tanpa diskriminasi.

Sampai sekarang, saya masih belum tahu apa cita-cita Bunga.

--

--

Pradita Agustina
Pradita Agustina

Written by Pradita Agustina

A lifelong learner. Writing some nonsenses for myself. Maybe for you too.

No responses yet